Thursday, December 1, 2016

Ali 10c

Kasus Simulator SIM, Libatkan Dua Jenderal Polisi

Simulator SIM
Pada 2011, KPK melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korlantas Polri. Penyidikan proyek senilai Rp 198 tersebut menyeret nama-nama petinggi Mabes Polri, salah satunya yakni Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri  Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Djoko ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan beberapa orang lainnya, yakni Brigjen Didik Purnomo, Direktur PT CMMA Budi Susanto, dan Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia, Sukotjo Bambang.
Perbuatan tersebut menurut penghitungan BPK mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp121,3 miliar. Djoko, jenderal bintang dua yang juga Gubernur Akademi Kepolisian itu diduga memperkaya diri sendiri (melalui tindak pidana pencucian uang) atau orang lain atau korporasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pada September 2013, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 10 tahun dan denda Rp500 juta bagi sang jenderal.
Djoko Susilo kemudian mengajukan permohonan banding atas vonis tersebut, namun Pengadilan Tinggi Jakarta justru menambah hukuman Djoko dari 10 tahun menjadi 18 tahun serta memerintahkan Djoko yang saat ini ditahan di Lapas Sukamiskin, Bandung, membayar uang pengganti Rp32 miliar, dan sejumlah pidana tambahan, antara lain: pencabutan hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.Sementara itu, tersangka lain yakni Brigjen Didik Purnomo, juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Didik selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek ini disebut terbukti menerima Rp 50 juta dari pengusaha Budi Susanto untuk memuluskan PT CMMA sebagai penggarap proyek simulator. Budi Santoso sendiri sempat dijatuhi vonis 8 tahun penjara dan kewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 17,1 miliar pada awal 2014  lalu. Di tingkat kasasi, MA mengabulkan upaya kasasi yang diajukan oleh Jaksa KPK dan memvonis Direktur PT CMMA tersebut dengan hukuman lebih berat berupa 14 tahun penjara serta kewajiban membayar ganti rugi ke negara hingga Rp 88,4 miliar.
Sementara itu, pada Mei 2012, Sukotjo Bambang divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung selama 3,5 tahun penjara sekitar Rp 38 miliar untuk pengadaan simulator kemudi di Korlantas Polri. Putusan tingkat pertama ini lalu diperberat menjadi 3 tahun dan 10 bulan oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Atas dua putusan tersebut, Bambang melakukan kasasi ke Mahkamah Agung per 8 Agustus 2012, namun ditolak.

Tuesday, November 29, 2016

kasus korupsi Dahlan Iskan

Jakarta - Resmi menjadi tersangka kasus korupsi, Dahlan Iskan langsung ditahan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim). Penanahan tersebut dilakukan usai Dahlan resmi ditetapkan menjadi tersangka atas kasus penjualan aset milik BUMD PT Panca Wira Usaha di Jawa Timur. Dahlan menjadi Direktur Utama di BUMD tersebut di tahun 2000-2010.
"Saya tidak kaget sebagai penetapan tersangka ini dan kemudian juga ditahan. Karena seperti Anda tahu, saya diincar yang berkuasa," ucap Dahlan usai menjalani pemeriksaan di Kejati Jatim, Surabaya, Kamis (27/10/2016), seperti dilansir dari liputan6.com.
Dahlan Iskan memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (17/6/2015). Dahlan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan 16 mobil listrik di 3 perusahaan milik BUMN. (Liputan6.com/Yoppy Renato)
Dahlan mengaku tidak masalah berstatus tersangka, walaupun sudah mengabdi dengan setulus hati kepada negara. Dia juga menjelaskan kalau perusahaan daerah tersebut tidak begitu bagus selama 10 tahun
"Tanpa menerima fasilitas apapun harus menjadi tersangka yang bukan karena makan uang. Bukan karena menerima sogokan. Bukan karena menerima aliran dana, tapi karena harus tanda tangan dokumen yang disiapkan anak buah," ujar mantan Menteri BUMN di era Presiden SBY tersebut.
Terkait status tersangkanya itu, Dahlan menambahkan, akan dijelaskan lebih lanjut oleh penasihat hukumnya. Kemungkinan ia akan mengajukan praperadilan. Hari ini Dahlan Iskan sebenarnya masih diperiksa sebagai tersangka dan ternyata usai pemeriksaan langsung menjadi tersangka dan ditahan.
Sumber: http://www.bintang.com

Tuesday, November 22, 2016

JHONATHAN 10C


JHONATHAN 10C

"KASUS KORUPSI GULA IMPOR"

Sidang kasus kuota impor gula di Sumatera Barat di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (15/11/2016) mengungkap hubungan antara mantan Ketua DPD RI, Irman Gusman, dengan Direktur Umum Perum Bulog, Djarot Kusumayakti.

Saat bersaksi untuk terdakwa pemilik CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan Memi, Djarot menyampaikan bahwa dirinya mengakui kewibawaan Irman saat dirinya dihubungi guna meminta CV Semesta Berjaya menjadi distributor gula impor di Sumatera Barat.

Anggota majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar dalam sidang itu menanyakan, "Apakah telepon dari saudara Irman Gusman membuat Anda dari yang tadinya tidak ingin berbuat menjadi berbuat atau sebaliknya dari yang tadinya berbuat jadi tidak ingin berbuat?"

"Kalau ini yang dimaksudkan ya karena beliau [Irman Gusman] seorang yang terhormat dan punya konstituen di daerah [Sumatera Barat], saya harus segera melakukan [permintaan Irman] itu dibanding kalau saya mendapat telepon dari orang yang tidak berasal dari Sumbar dan kewibawaannya tidak seperti beliau," jawab Djarot Kusumayakti seperti dikabarkan Antara.Pada kasus kuota impor gula, Irman Gusman diduga menerima suap sebesar Rp100 dari Xaveriandy Sutanto dan Memi agar CV Semesta Berjaya mendapat jatah alokasi pembelian gula yang diimpor Perum Bulog untuk disalurkan di provinsi Sumbar dengan memanfaatkan pengaruh Irman.

CV Semesta Berjaya sendiri sebenarnya sudah mengajukan PO untuk membeli gula dari Bulog sebesar 3000 ton sejak 30 Juni 2016. Namun saat itu Perum Bulog Divisi Regional (Divre) Sumbar belum merespons. Oleh karena itu Memi menghubungi Irman yang merupakan temannya sejak 21 Juli 2016 silam. Irman kemudian menelepon Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti. Untuk menindaklanjuti permintaan Irman itu, Djarot memerintahkan Benhur Ngkaimi selaku Kepala Perum Bulog Divisi Regional (Divre) Sumbar untuk mengurus pembelian CV Semesta sampai mendapatkan gula impor 1.000 ton dari gudang Bulog di DKI Jakarta.

Terkait hal itu hakim Jhon Halasan Butarbutar menanyakan, "Kan kewenangan 1.000 di Divre, kenapa harus Anda langsung? itu kan kewenangan Benhur selaku Kepala Divre Sumbar, kenapa Anda harus campur tangan?"

"Ini kontrol saya ke pekerjaan anak-anak, di dalam kondisi yang berbeda sering di bawah tidak sesuai dengan kenyataan yang ada," jawab Djarot.

"Jadi melakukan itu karena pengaruh atau tekanan Irman?" tanya hakim Jhon.

"Bukan tapi lebih karena keinginan saya agar gula di daerah segera turun harganya," jawab Djarot.

"Apa yang ditangkap dari pembicaraan dengan Irman? Apa meminta bantuan?" tanya hakim.

"Detilnya yang saya tangkap informasi tentang harga gula di Sumbar yang mahal, kedua info pengusaha gula di Sumbar yang namanya, Mei lalu akhirnya saya telepon bu Meme untuk memastikan siapa bu Meme, apa benar kawan Pak Irman Gusman atau bukan, apa benar pengusaha," jawab Djarot.

Dalam pembicaraan dengan Meme tersebut, Djarot pun mendapat konfirmasi bahwa Memi yang juga dipanggil Meme itu berasal dari satu kota dengan Irman di Padang dan merupakan distributor bahan pokok.

"Yang saya dapat Bu Meme memang sudah mengajukan permohonan menjadi mitra industri gula kemudian saya dapat info Bu Meme pengusaha besar bahan pokok untuk ukuran Sumbar," ungkap Djarot.

Namun persoalannya, CV Semesta Berjaya hanya mendapatkan 1.000 ton gula dari permintaan 3.000 ton gula yang diajukan, padahal untuk mendapatkan 1.000 ton gula tidak memerlukan tindakan dari Dirut Bulog dan hanya butuh dari Kepala Divre Bulog Sumbar.

"Untuk pembelian sampai 1.000 ton kewenangan di Divre, di atas 1.000 kewenangan di direktur komersial Bulog, dan ini diajukan 1.000 maka antar Divre kalau dari situ saya lihat Divre Padang tanggal 26 Juli mengajukan ke Divre DKI Jakarta kemudian belum bisa terkirim karena 26 Juli melalui Divre Padang melampirkan bukti transfer ke Divre Padang," jelas Djarot.

"Berapa yang dibayarkan Meme?" tanya hakim.

"Saya tidak hapal tapi ekuivalen untuk 1.000 ton gula kristal refinasi," jawab Djarot.

"Kenapa yang dikabulkan 1000 ton?" tanya hakim.

"Sepenuhnya kewenangan Divre karena saya sebagai Dirut mungkin benar kebutuhan average gula di Sumbar 3.000 ton per bulan jadi pengajuan 1.000 ton masih masuk akal tapi itu perhitungan di Divre," jawab Djarot.

Korupsi di indonesia

Abdullah Puteh (lahir di Meunasah Arun, Aceh Timur, 4 Juli 1948; umur 68 tahun) adalah mantan gubernur Aceh.

Ia pada tanggal 7 Desember 2004 dijebloskan ke Rutan Salemba, Jakarta karena dituduh melakukan korupsi dalam pembelian 2 buahhelikopter PLC Rostov jenis MI-2 senilai Rp12,5 miliar.

Pada 11 April 2005, Puteh divonis hukuman penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat vonis hakim dibacakan, Puteh berada di rumah sakit karena baru selesai dioperasi prostatnya. Segera setelah putusan tersebut dikeluarkan, Departemen Dalam Negeri memberhentikan Puteh sebagaiGubernur. Sebelumnya Puteh hanya dinonaktifkan.

Pada tanggal 18 November 2009, Puteh secara resmi bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

Saturday, November 19, 2016

Simulator SIM, Libatkan Dua Jenderal Polisi

Pada tahun 2011, KPK melakukan penyidikan kasus atas dugaan korupsi pengadaan alat simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korlantas Polri.

Nama Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri  Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, ikut dibawa kedalam kasus proyek berjumlah Rp 198milliar tersebut.

Jendral Djoko Susilo, Brigjen Didik Purnomo, Direktur PT CMMA Budi Susanto, dan juga Direktur PT Inovasi Teknology Indonesia, Sukotjo Bambang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Menurut perhitungan BPK, perbuatan tsb mengakibatkan kerugian sebesar Rp 121,3milliar. Jendral bintang 2 yang juga Gubernur Akademi Kepolisian itu, Djoko Susilo, diduga melakukan tindak pidana pencucian uang. Pelanggaran tersebut diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mentuhkan vonis pada September 2013. Hukuman yang ditetapkan adalah vonis selama 10 tahun dan denda Rp. 500juta bagi Jendral Djoko.

Djoko mengajukan permohonan peringanan atas vonis yang di dapatkannya. Akan tetapi Pengadilan Tinggi Jakarta justri menambahkan hukuman Djoko hingga 18 tahun serta membayar uang pengganti sebesar Rp 32milliar dan sejumlah pindana tambahan antara lain: pencabutan hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Sementara itu, tersangka lain Brigjen Didik Purnomo, juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Didik selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam protek tersebut terbukti menerima Rp 50juta dari pengusaha Budi Susanto untuk mengatur jalannya PT CMMA sebagai protek simulator.

Budi Susanto dijatuhkan vonis selama 8 tahun penjara dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 17.1 milliar pada tahun 2014 silam.

Di tingkat Makhamah Agung, upaya meringankan beban vonis yang diajukan oleh Jaksa KPK justru mengakibatkan hukuman yang lebih berat yaitu 14 tahun penjara serta kewajiban membayar ganti rugo ke negara yang jumlahnya mencapai Rp. 88,4milliar.

Pada Mei 2012, Sukotjo Bambang divonis selama 3.5 tahun penjara dan sekitar Rp 38milliar untuk pengadaan simulatir kemudi di Korlantas Polri. Vonis tersebut dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung.

Putusan tingkat pertama ini lalu diperberat menjadi 3 tahun dan 10 bulan oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Atas dua putusan tersebut, Bambang melakukan kasasi ke Mahkamah Agung per 8 Agustus 2012, namun ditolak.


Friday, November 18, 2016

Bekas Bupati Korupsi Rp 270 Miliar, Dihukum 1,5 Tahun Bui

Didakwa terlibat kasus korupsi bantuan sosial (Bansos) di Kabupaten Bengkalis senilai Rp 270 miliar dan turut merugikan negara sebanyak Rp 31 miliar, mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh lepas dari 8 tahun penjara.

Dalam vonis di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada Selasa sore, 11 Oktober 2016, politikus PAN itu hanya divonis selama 1 tahun dan 6 bulan penjara oleh majelis hakim yang diketuai Dr Marsudin Nainggolan.

Dalam pertimbangan vonis, Marsudin menyebut Herliyan bukan aktor utama, melainkan merupakan pihak yang turut serta menyebabkan kerugian negara dalam menggunakan anggaran daerah.

Menurut hakim, yang menjadi aktor utama dalam menyetujui penyaluran Bansos pada 2012 adalah mantan Ketua DPRD Bengkalis, Jamal Abdillan, beserta para legislator kala itu yang sudah divonis bersalah.

"Bukan master mind, melainkan sebagai pelaku peserta. Pidana tidak boleh melebihi pidana Jamal Abdilah dan kawan-kawan, selaku aktor utama. Dan terdakwa tidak menikmati (uang korupsi)," ujar Marsudin.

Marsudin menambahkan, Herliyan patut diminta pertanggungjawabannya dalam kasus ini terkait jabatannya sebagai Bupati Bengkalis saat itu.

Selain vonis penjara, Marsudin juga mewajibkan Herliyan membayar denda sejumlah Rp 200 juta. Jika tidak dibayar, mantan Ketua DPW PAN Riau itu wajib menjalani hukuman penjara tambahan selama 2 bulan.

Atas vonis ini, baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum dari Kejari Bengkalis masih berpikir-pikir selama tujuhhari untuk menyatakan sikap.


Sebelumnya dalam kasus ini, aktor utama (Jamal Abdillah) divonis 8 tahun penjara. Sementara empat legislator lainnya, Tarmizi, Hidayat Tagor dan Rismayeni divonis berat juga atau melebihi Herliyan.

Dalam perkara ini, masih terdapat satu tersangka yang belum menjalani persidangan. Ia adalah Ketua DPRD Bengkalis saat ini, Heru Wahyudi. Berkasnya masih berada di penyidik Polda Riau dan belum dilimpahkan ke pengadilan.

Thursday, November 17, 2016

Kasus Korupsi Gayus Tambunan



Nama/Tersangka : Gayus Halomoan Partahanan Tambunan( Gayus Tambunan )

Lahir : Jakarta,9 Mei 1979

Umur : 37 Tahun

Pekerjaan : Mantan pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan     Indonesia

Kasus : Namanya menjadi terkenal ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya dan uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah digulirkan Sri Mulyani dan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia.